School for justice. Sekolah untuk keadilan. Slogan kuat itu emang ulang dibutuhin banget sama India. Wajar, soalnya India kerap disebut sebagai negara dengan persoalan perdagangan manusia terbesar di dunia. Meskipun belom diketahui angkat pastinya, PBB memperkirakan tersedia kurang lebih 3 juta korban perdagangan manusa di India. Mirisnya, dari angka tersebut, kurang lebih 40 persennya kemudian menjadi pekerja seks komersial. Sebagian besar korbannya berasal dari etnis minoritas dan kasta yang lebih rendah pendidikan dari kota terpencil .
Berdasarkan knowledge dari Free A Girl Movement, sebagian orang yang ditangkap sebab persoalan perdagangan manusia justru tambah bebas sebab kurangnya bukti di pengadilan. Berdasarkan hal tersebut, berdirilah School of Justice atau Sekolah Keadilan yang didirikan pada tanggal 6 April 2017 selanjutnya di India. Sekolah judi bola online ini menspesialisasikan diri membuat mengajari para korban perdagangan manusia membuat menjadi seorang pengacara. Salah satu obyek sekolah ini adalah agar para perempuan mampu mengfungsikan posisi tawar mereka membuat menuntut keadilan.
Sekolah Hukum Khusus Korban Perbudakan
“Menjadi pengacara adalah mimpi saya, dan menghadirkan keadilan bagi mereka yang bertanggungjawab atas perdagangan bebas ini,” kata Lata, salah satu siswa yang termasuk dulu menjadi korban perdagangan manusia. “Saya idamkan menghukum dia yang melakukan ini pada saya,” kata Lata yang juga mengaku lebih baik ia menjadi dealer di sbobet daripada mengemis atau menjual diri. Sekolah ini sendiri merupakan hasil kerjasama antara Free A Girl Movement, sebuah organisasi Internasional yang concern dengan isu perdagangan manusia, dengan salah satu sekolah hukum bergengsi di India.
Nantinya, sepanjang menempuh studi di sekolah ini, para siswi dapat dapat tinggal di sebuah asrama yang disediakan oleh pihak sekolah. Nggak cuma itu, nama mereka termasuk dapat senantiasa dirahasiakan demi menjaga keamanan mereka. Di th. pertamanya, tersedia kurang lebih 19 perempuan yang bergabung di sekolah ini. Semuanya berusia antara 19 sampai 26 tahun, mereka menyita kelas membuat menempuh ujian hukum dan juga menerima bimbingan dan pendampingan membuat menegaskan kesuksesan mereka.
Para siswi ini diharapkan mampu selesaikan pendidikan mereka dalam kurun saat lima sampai enam tahun, dengan gelar seorang Sarjana Hukum dengan fokus studi persoalan eksploitasi dan komersialisasi perempuan. “Mereka adalah perempuan-perempuan yang mempunyai pengalaman, trauma, dan juga kehidupan yang nggak dulu mereka bayangkan sebelumnya,” kata Bas Korsten salah satu seorang pecetus proyek ini. “Mereka bertekad menjadi pengacara, membuat mengadili penjahat yang dulu menjerumuskan mereka,” mengetahui Korsten.